Rabu, 07 September 2016

INTUISI: JENDELA MENATAP LOGIKA

Bagai setitik cahaya dalam gelap, dia kecil namun pasti terlihat.


BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
“Bayangkan bahwa dunia itu seperti selembar kertas. Bagai seorang ahli origami, lipat kertas itu menjadi dua, empat, delapan, enam belas, dan seterusnya…sampai pada suatu titik, kertas itu tidak bisa dilipat lagi bagaimana dilakukan. Kertas itu tidak dapat dilipat lagi disebabkan ada batas kemampuan struktur kertas itu yang menahan perubahan dirinya.” (Piliang, 2011: 45). Disini Piliang menggilustrasikan dimana ada batasan dalam suatu hal, pemaksaan mungkin dapat membuat tindakan melampaui batasan tersebut, namun itu artinya kita telah melampaui sesuatu yang seharusnya tidak dilampaui.
Dalam pendidikan, seorang anak belajar tidak hanya sekedar tahu, mereka belajar juga untuk makna dalam pengetahuannya. Ketika memasuki kelas, siswa tidak benar-benar berada dalam keadaan kosong. Tiap siswa memiliki bekal pengetahuan yang mereka dapatkan baik dari membaca maupun pengalaman (intuisi) yang nantinya disinkronkan dengan pengetahuan formal di dalam kelas dengan memanfaatkan logika dalam aspek berfikir kritisnya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa tidak ada siswa yang benar-benar sama secara pengetahuan dasar maupun ituisinya, maka dalam mendidik perlu memperhatikan aspek-aspek tertentu di dalam pembelajaran.
Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Elfindri, et al (2010: 7) bahwa mendidik anak-anak bukanlah mirip paku yang ditancapkan, dipaksa untuk masuk sampai ke dalam, namun seperti menggemburkan tanah yang keras. Jadi pemaksaan dalam melampaui batasan kemampuan anak bukanlah hal yang dapat dikatakan sebagai mendidik. Tiap siswa memiliki batasan dalam pemahaman. Mendidik jauh lebih bermakna lagi, mendidik menumbuhkan keinginan siswa untuk memperluas jangkauan kemampuannya hingga batas yang semakin tak hingga.
Ada dua jenis prosedur pengetahuan identifikasi, yaitu pengetahuan terhubung dan pengetahuan terpisah. Pengetahuan terhubung adalah pengetahuan yang dibangun dari pengalaman seseorang. Sedangkan pengetahuan terpisah dibangun bukan dari pengalaman seseorang, melainkan dari pembuktian. Seorang matematikawan bekerja berdasarkan pengetahuan terhubung yang kemudian membuktikan/menguji kebenarannya dengan pengetahuan terpisah. Namun sayangnya, ketika telah sampai di dalam kelas, pembelajaran matematika lebih menekankan pengetahuan tersebut pada pengetahuan terpisah.
Hal tersebut menyebabkan pembelajaran matematika di kelas menjadi momok yang tidak nyaman bagi siswa. Penyampaian pembelajaran yang demikian membuat siswa tidak sempat merasakan keheranan, kesangsian, dan kesadaran akan kekurangan. Sedangkan menurut Harry Hamersma (2008: 13) keheranan, kesangsian, dan kesadaran akan keterbatasan mendorong manusia untuk berpikir. Akan tetapi pemikiran ini segera menjadi “metodis”. Manusia berkecenderungan untuk menggunakan suatu jalan tertentu untuk berpikir, yaitu dari hal-hal yang lebih konkret ke prinsip-prinsip induk yang lebih abstrak.  Berpikir disini dapat dipandang dari segi logika, yaitu berpikir logis dan berpikir kritis, sedangkan jalan berpikir dari hal konkret ke prinsip induk yang lebih abstarak merupakan cara berpikir dengan menghubungkan pengetahuan terhubung yang dikaitkan dengan pengetahuan terpisah.
Pengetahuan terhubung (dalam hal ini mencakup intuisi) dan pengetahuan terpisah (dalam hal ini mencakup logika: berpikir logis dan berpikir kritis), merupakan dua cara pembentukan pengetahuan yang seharusnya berjalan kontinu, bukan merupakan pilihan yang hanya dipandang salah satunya saja. Seorang yang berpengetahuan terpisah saja, cenderung menitik beratkan pengetahuannya pada teori-teori hingga kehilangan makna dari pengetahuannya sendiri. Hal ini membuat dirinya melewati beberapa aspek-aspek penting dalam proses pembentukan pengetahuan itu sendiri. Sedangkan seseorang yang berpengetahuan terhubung saja cenderung menitikberatkan pengetahuannya berdasarkan pengalamannya saja hingga terkadang dia lupa bahwa ada banyak hal yang belum dia alami, sehingga ada banyak pula pengetahuan yang tidak dia capai. Berbeda hal nya dengan mereka yang kontinu dalam pengetahuan terhubung dan pengetahuan terpisah. Seseorang yang demikian cenderung menitik beratkan pengetahuannya pada pengalaman dan mengkajinya dengan teori hingga pengetahuan yang dia peroleh dari pengalaman mampu mencakup pengetahuan yang belum dia peroleh dari pengalamannya. Disinilah berpikir logis dan kritis memegang peran dalam pengetahuan seseorang seharusnya.
Setiap orang memiliki pengalamannya sendiri. Bagaimana seseorang memanfaatkan pengalamannya dalam mengembangkan pengetahuannya tidak akan terlepas dari bagaimana seseorang tersebut mampu berpikir secara logis dan kritis. Dengan demikian, butuh saling topang dalam intuisi dan logika berpikir dalam hal ini.

2.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, tampak bahwa pengetahuan terhubung dan pengetahuan terpisah sesungguhnya tidak dapat berjalan sendiri-sendiri dalam mencerna ilmu pengetahuan. Dalam pengolahan pengalaman untuk menjadi ilmu pengetahuan diperlukan logika berpikir yang mencakup logis dan berpikir kritis. Setiap orang memiliki batas kemampuannya sendiri-sendiri dalam berpikir, maka perlu dikaji sebagaimana seseorang itu berpikir logis dan kritis melalui intuisi.




BAB II
PEMBAHASAN

1.      Intuisi
Tidak ada siswa yang pengetahuannya benar-benar kosong ketika berada di dalam kelas. Secara alami siswa telah memiliki bekal pengetahuan berdasarkan pengalaman dari kehidupannya. Baik itu dia sadari ataupun tidak keberadaan pengetahuan tersebut ada di dalam dirinya.
Intuisi adalah proses pengenalan pola yang terjadi secara tidak sadar di dalam kepala. Pola-pola tersebut terjadi akibat dari pengalaman sehari-hari, atau pun informasi lainnya yang sering diterima oleh individu.
Intuisi sering digunakan dalam pengambilan keputusan sehari-hari, terutama bila dihadapkan dengan ketidakpastian, lingkungan yang cepat berubah, dan informasi yang tidak lengkap, sedangkan keputusan harus segera diambil. Intuisi dapat menjadi suatu alat yang efisien untuk mengambil keputusan, karena tidak memerlukan waktu yang lama dan informasi yang bertele-tele.
Namun meskipun demikian, intuisi adalah pola yang dihasilkan dari pengalaman yang lama, sehingga orang baru akan tidak mempunyai pola tersebut. Sedangkan orang yang mempunyai akan kesulitan untuk mengajarkannya karena pada umumnya pola tersebut ada di bawah sadarnya, sehingga akan sulit untuk dieksplisitkan. Sejalan dengan hal tersebut, emosi sangat menentukan intuisi seseorang. Seseorang yang sedang emosional atau pun yang sangat senang akan sulit untuk menangkap suara batin, karena suara tersebut akan dibiaskan oleh emosi tersebut. Kemampuan orang untuk mengendalikan emosi, menjadi kunci bagi pengambil keputusan yang mendasarkan pada intuisi.
Intuisi merupakan suatu istilah untuk menggambarkan sesuatu yang dipahami tanpa proses penalaran (logika). Namun dalam penalaran, tidak akan digunakan jika tidak ada intuisi di dalamnya. Intuisi ibarat bahan masakan, dan logika (mencakup berpikir logis dan kritis) adalah peralatan memasaknya. Bahan masakan dapat mengenyangkan tanpa dimasak, namun akan menjadi masakan lezat hingga bisa dinikmati oleh banyak orang jika telah dimasak. Dan peralatan memasak tidak akan menggapai makna manfaatnya jika tidak ada bahan masakan untuk diolah. Maka untuk mendapatkan makanan lezat yang dapat dinikmati semua orang (ilmu pengetahuan), dibutuhkan bahan masakan dan peralatan memasak, tidak bisa salah satu saja.
Tampak bahwa logika seseorang tidak akan berjalan mencapai maknanya jika orang tersebut tidak melihat dari intuisinya. Intuisi memberi pengalaman untuk membuat seseorang sadar akan rasa heran, hingga membuatnya berpikir. Seekor ikan tidak belajar berenang untuk bisa berenang, seekor burung tidak belajar terbang untuk bisa terbang. Semua terjadi secara alami. Demikian dengan siswa. Pada hakekatnya siswa tidak memerlukan perintah untuk belajar, mereka membutuhkan kesempatan untuk merasa heran, agar berpikir, mengkritisi intuisi dan memproses hal tersebut dalam logika dan kemudian disajikan dalam ilmu pengetahuan.
Intuisi adalah sumber ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Karenanya, agar ilmu pengetahuan yang terlahir itu sahih, maka diperlukan berpikir yang sahih pula di sini. Di sinilah peran logika diperlukan. Logika sebagai ilmu menalar, itu mencakup dasar-dasar berpikir tertip, logis, kritis, analitis, dan dialektis. Disini penulis memandang bahwa intuisi merupakan jendela bagi seseorang untuk melogikakan. Melogikakan di sini dipersempit menjadi berpikir logis dan berpikir kritis.

2.      Logika
Manusia dibekali akal untuk menjalani hidupnya, ini lah yang membedakan manusia dari ciptaan Tuhan lainnya. Dengan akal manusia berpikir, dengan akal pula manusia memahami apa itu intuisi. Dengan akal manusia mampu memahami sesuatu serta menemukan hakikat kebenaran (dalam konteks ruang dan waktu).
Secara naluriah, seseorang  cenderung menggunakan akal dalam hidupnya. Dan penggunaan itu menurut kapasitasnya masing-masing. Keberadaan akal inilah yang memberi rasa bingung dalam diri manusia. Ketika bingung manusia akan berpikir. Berpikir di sini adalah bentuk kegiatan akal yang terarah. Melamun adalah kegiatan akal, namun melamun bukanlah berpikir. Dengan kata lain, berpikir adalah berbicara dengan dirinya sendiri (Plato, Aristoteles); mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari berbagai hal yang berhubungan satu sama lain, mengapa atau untuk apa sesuatu terjadi, serta membahas realitas. (Poespoprodjo, 2011: 13).
Menurut Muhammad Nur Ibrahimi (2012: 5), proses berpikir tidak selamanya akan menghasilkan kesimpulan yang sahih (benar). Tidak jarang, dalam berpikirtersebut, tanpa disadari manusia sampai pada kesimpulan yang keliru (fals) sehingga mengaburkan batas antara benar dan salah. Agar manusia terbebaskan dari sesat pikiran, sehingga pengetahuannya benar-benar dapat terjamin dari kekeliruan, maka disusunlah kaidah-kaidah berpikir yang baku, yang selanjutnya dikenal dengan logika.
Logika berasal dari kata Yunani logos yang berarti ucapan, kata, akal budi, dan ilmu. Kata logos sering sekali didengar. Misalnya, ketika mempelajari biologi, tentunya tahu kalau biologi adalah ilmu (logos) tentang makhluk hidup (bios). Atau sosiologi yakni ilmu tentang masyarakat (socius), atau zoologi, yakni ilmu tentang binatang, atau psikologi, yakni ilmu tentang jiwa (psikhe) manusia. Bahkan ilmu tentang Tuhan (teologi). Demikianlah, logos dalam pengertian ilmu atau kajian memiliki hubungan yang erat dengan salah satu aspek kajian yang menjadi objek formal dari ilmu bersangkutan sekaligus membedakan ilmu tersebut dari ilmu-ilmu lainnya.
Logika bukan segalanya dalam ilmu pengetahuan. Logika adalaha sarana untuk memproduksi pengetahuan, namun logika sebagai saranapun nyatanya tidak dapat berdiri sendiri. Ada intuisi yang bermain. Logika dan intuisi ibarat peralatan memasak dan bahan masakan. Secara mentah bahan masakan bisa dinikmati sendiri, sedangkan peralatan masak tidak akan menggapai makna manfaat jika tidak ada bahan makanan. Namun masakan yang lezat dan dapat dinikmati oleh semua orang adalah bahan masakan yang telah diolah oleh peralatan memasak ini.
Logika dapat dibedakan atas dua macam. Meskipun demikian keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua macam logika itu ialah logika kodratiah dan logika ilmiah.
Logika kodratiah ada pada setiap manusia karena kodratnya sebagai makhluk rasional. Sejauh manusia itu memiliki rasio maka dia dapat berpikir. Atau dengan akal budi manusia dapat bekerja menurut hukum-hukum logika entah secara spontan atau disengaja. Misalnya manusia dapat berpikir secara spontan bahwa si A berada dengan si B atau “ditambah” tidak sama dengan “dikurang”. Jadi tanpa belajar logika ilmiah pun orang dapat berpikir logis dengan mendasarkan pikirannya pada akal sehat saja. Contoh yang lain misalnya, seorang pedagang tidak perlu belajar logika ilmiah untuk maju di bidangnya. Namun apabila hal yang dipikirkan itu bersifat rumit dan kompleks akal sehat saja tidak mencukupi untuk menjamin prosedur pemikiran yang tepat sebab akal sehat saja tidak dapat diuji sepenuhnya secara kritis dan ilmiah. Di sinilah seseorang ditantang untuk berpikir tentang caranya berpikir. Bagaimana seseorang mengetahui hukum-hukum kodrat pemikiran secara tegas dan eksplisit, agar dengan sadar menerapkannya sehingga mempunyai kepastian akan kebenaran proses berpikir dan juga kepastian atas kesimpulannya. Tuntutan itu lebih terasa apabila harus menggeluti jalan ilmu pengetahun yang  panjang, berliku-liku, dan penuh kesukaran. Pada tataran ini dibutuhkan logika ilmiah sebagai penyempurnaan atas logika kodratiah. Jadi logika ilmiah adalah ilmu praktis normatif yang mempelajari hukum-hukum, prinsip-prinsip, dan bentuk-bentuk pikiran manusia yang jika dipatuhi akan membimbing seseorang mencapai kesimpulan-kesimpulan yang lurus/sah. Logika ilmiah membentangkan metode yang menjamin seseorang bernalar secara tepat/semestinya. Bagaimana menghindari kekeliruan dan kesesatan dalam berpikir? Namun harus disadari bahwa logika ilmiah adalah keterangan lebih lanjut atau penyempurnaan atas logika kodratiah.
Intuisi secara cukup untuk diri sendiri seseorang sebagai pengetahuannya. Logika tanpa intuisi hambar tak bermakna. Intuisi yang telah didalami dan diperluas dengan logika, mampu menjadi ilmu pengetahuan untuk banyak orang. Meski logika bukan segalanya dalam ilmu pengetahuan, namun logika tetap memiliki peran. Logika memiliki fungsi hingga layak dipertimbangkan, antara lain menurut Ibrahimi (2012: 17), fungsi logika yaitu; mengasah dan mengembangkan potensi akal, memposisikan sesuatu secara tepat serta melatih disiplin, mampu memilah pemikiran yang benar dan yang salah.
Dalam ilmu pengetahuan, konsep dan pernyataan tebagi atas dua bagian, yaitu aprriori/aksiomatik, dan teoritis/analitis. Kebenaran teoritis, dalam dataran konsep maupun pernyataan hanya bisa dipahami melalui pemikiran dan penalaran yang seksama (Ibrahimi, 2012: 19-20). Ada berpikir logis dan kritis yang diperlukan dalam hal ini. Tidak setiap hal harus diselesaikan dengan logika, namun ada beberapa hal yang memerlukan logika dalam penyelesaiannya. Dan beberapa itu adalah bagian dari apa yang ada dan mungkin ada dalam ilmu pengetahuan.

3.      Berpikir
Ditinjau dari perspektif psikologi, berpikir merupakan cikal bakal ilmu yang sangat kompleks. Secara umum berpikir dilandasi oleh asumsi aktifitas mental atau intelektual yang melibatkan kesadaran dan subjektivitas individu. Hal ini merujuk ke suatu tindakan pemikiran atau ide-ide atau pengaturan ide. Pandangan serupa termasuk kognisi, kesangguoan untuk merasa, kesadaran, dan imajinasi. Karenanya berpikir hamper melandasi setiap tindakan dan interaksi manusia. Pemahaman asal-usul fisik dan metafisik, proses, dan efek telah menjadi tujuan dalam disiplin ilmu.
Sifat berpikir merupakan suatu keadaan mental dan dapat dipersepsikan serta diinterprestasikan. Setiap individu dalam situasi dan kondisi tertentu memiliki kebutuhan yang memaksanya untuk berpikir. Proses berpikir merupakan urutan kejadian mental yang terjadi secara alamiah atau terencana dan sistematis pada konteks ruang, waktu, dan media yang digunakan, serta menghasilkan suatu perubahan terhadap objek yang memengaruhinya. Hasil berpikir merupakan sesuatu yang dihasilkan melalui proses berpikir dan membawa atau mengarahkan untuk mencapai tujuan dan sasaran. Dapat pula berupa ide, gagasan, penemuan dan pemecahan masalah, keputusan, serta selanjutnya dapat dikonkretisasi kea rah perwujudan, baik berupa tindakan untuk mencapai tujuan kehidupan praktis maupun untuk mencapai tujuan keilmuan tertentu.
Berpikir dipandang dari aspek psikologi sangat erat kaitannya dengan sadar dan kesadaran. Kesadaran dan berpikir tidak saja terbatas menjadi kajian psikologi tetapi juga bidang filsafat. John Dewey (Wowo Sunaryo Kuswana, 2011: 5) memberikan gambaran bagaimana mengistilahkan berpikir, yaitu sebagai berikut:
·         Berpikir sebagai aliran kesadaran dan ketidaksadaran dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dikendalikan, mengalirnya ide-ide melalui otak, termasuk mimpi dan melamun.
·         Berpikir sebagai imajinasi atau kesadaran yang biasanya dibatasi untuk hal-hal yang secara tidak langsung dirasakan karena kita cenderung mengatakan “aku melihat sebatang pohon” ketimbang mengatakan “aku pikir sebatang pohon”, jika di depan mata terdapat sebatang pohon.
·         Berpikir sebagai sinonim dengan keyakinan terhadap sajian data laporan, “saya pikir besok akan hujan.” Dalam pengertian ini, sangat kontras dengan tingkat pengetahuan dan kepercayaan yang diekspresikan.
·         Berpikir reflektif sebagai mata rantai pemikiran intelektual, melalui penyelidikan dan menyimpulkan.
Ada perbedaan dalam berbagai konsep pemikiran dan berpikir kritis. Secara umum dikelompokkan dalam versi deskriptif dan normatif. Berpikir deskriptif cenderung bersifat psikologis, yang memandangnya sebagai keterampilan kognitif dan proses mental atau prosedur yang terlibat dalam berbagai aspek pemikiran. Berpikir normative adalah berpikir kritis berhubungan erat dengan pemikiran yang mengandung makna nilai-nilai.
Terminology yang terkait dengan berpikir adalah penalaran yang bersifat diskuratif dan kalkulatif. Terminology nalar dalam keilmuan mengandung makna yang khas dan lebih sempit dibandingkan dengan berpikir. Bernalar merupakan kegiatan berpikir untuk menarik simpulan dari premis-premis yang sebelumnya telah diketahui dan ditetapkan. Bernalar merupakan kegiatan berpikir yang merujuk pada hukum logika sebagai proses rasional, walaupun belum ada jaminan bahwa simpulannya menghasilkan kebenaran. Pada konteks nalar, belum terjadi adanya benar-salah, melainkan betul, keliru, sahih, atau tidak sahih. Kriteria kebenarannya adalah asas-asas logika dan intuisi.

4.      Silogisme dan Kekeliruan
Menurut Ibrahimi (2012: 104), silogisme merupakan statemen yang terdiri dari dua proposisi. Dan ketika kedua proposisi itu dapat dipastikan benar, maka dengan sendirinya ia mengharuskan akan adanya statemen lain yang disebut dengan konklusi (natijah).
Namun memperoleh konklusi yang sahih bukanlah semudah mengeluarkan proposisi. Ada beberapa kekeliruan yang bisa saja terjadi dikarenakan kesalahan, keteledoran, ketidak sah-an suatu proposisi. Inilah yang dikenal sebagai kesalahan logis. Sesuatu yang salah namun tampak sebagai hal yang benar secara logika.
Ada perbedaan antara kebenaran bentuk dan kebenaran isi. Logika yang berbicara tentang kebenaran bentuk disebut logika bentuk/formal (formal logic) sedangkan logika yang membahas tentang kebenaran isi disebut logika material (material logic). Selanjutnya logika formal disebut juga logika minor dan logika material disebut logika mayor.
Sebuah argumen dikatakan mempunyai kebenaran bentuk, bila konklusinya ditarik secara logis dari premis atau titik pangkalnya dengan mengabaikan isi yang terkandung dalam argumentasi tersebut. Yang harus diperhatikan di sini adalah penyusunan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi premis atau dasar penyimpulan. Kalau susunan premis tidak dapat dijadikan pangkal/dasar untuk menarik kesimpulan yang logis.
Misalnya:
Semua persegi adalah bangun datar.
Semua segi tiga adalah bangun datar.
Jadi, persegi adalah segi tiga.
Contoh diatas memperlihatkan susunan penalaran yang tidak tepat dengan demikian penalaran tersebut tidak memiliki kebenaran bentuk. Susunan penalaran yang tepat diketahui berdasarkan konklusinya yang ditarik secara logis dari premis atau titik pangkalnya.
Misalnya:
Semua bangun ruang memiliki volume.
Semua limas adalah bangun ruang.
Jadi, semua limas memiliki volume.
Susunan penalaran diatas adalah tepat sebab konklusinya diturunkan secara logis dari titik pangkalnya. Dengan demikian kalau penalaran yang tepat itu dikosongkan dari isinya dengan menghapus pengertian-pengertian di dalamnya dan menggantinya dengan tanda-tanda huruf terdapatlah pola penyusunan sebagai berikut:
Semua M adalah P.
Semua S adalah M.
Jadi, semua S adalah P.
Pola susunan penalaran itu disebut bentuk penalaran. Penalaran dengan bentuk yang tepat disebut penalaran yang tepat atau sahih (valid). Semua penalaran, apa pun isi atau maknanya, asal bentuknya tepat, dapat dipastikan bahwa penalaran itu sahih. Jadi tanda-tanda M, P, dan S dapat diganti degan pengertian apa saja, asal susunan premis (yang dijadikan dasar penyimpulan) tepat dan konklusi sungguh-sungguh ditarik secara logis dari premis maka penalaran itu tepat/sahih.
Misalnya:
air itu benda fisik.
Batu itu air.
Maka, batu itu benda fisik.
Kalau disesuaikan dengan kenyataan, jelaslah bahwa isi dari tiga pernyataan yang membentuk argumen di atas adalah salah. Namun argumen tersebut sahih dari segi bentuknya karena kesimpulan sungguh ditarik dari premis atau titik pangkal yang menjadi dasar penyimpulan tersebut. Bahwa isi dari kesimpulan tersebut salah tidaklah disebabkan karena proses penarikan kesimpulan yang tidak tepat, melainkan isi dari premis-premisnya sudah salah. Sebuah argumen dikatakan mempunyai kebenaran isi apabila pernyataan-pernyataan yang membentuk argumen tersebut sesuai dengan kenyataan.
Misalnya:
Semua hewan adalah makhluk hidup.
Kucing adalah makhluk hidup.
Jadi, kucing adalah binatang.
Kalau kita sesuaikan dengan kenyataan, jelaslah bahwa isi dari tiga pertanyaan yang membentuk argumen di atas adalah benar (sesuai dengan kenyataan) dengan demikian argumen tersebut memiliki kebenaran isi. Namun, kalau kita teliti lebih lanjut, argumen tersebut sesungguhnya secara formal (menurut bentuknya) tidaklah sahih (valid). Karena konklusi yang ditarik tidak diturunkan dari pernyataan-pertanyaan yang menjadi titik pangkal pemikiran. Memang benar bahwa “Kucing adalah hewan” tetapi pernyataan (kesimpulan) itu tidak dapat ditarik dari fakta bahwa “Semua hewan adalah makhluk hidup” dan bahwa “Kucing adalah makhluk hidup”.
Argumen ilmiah mementingkan struktur penalaran yang tepat atau sahih (valid) sekaligus isi atau maknanya sesuai dengan kenyataan. Dengan kata lain, kebenaran suatu argumen dari segi bentuk dan isi adalah prasyarat mutlak – conditio sine qua non dalam ilmu pengetahuan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara apriori sebuah argumen memiliki empat kemungkinan yakni:
·         Sahih dari segi bentuk tetapi tidak benar dari segi isi.
·         Tidak sahih dari segi bentuk, tetapi benar dari segi isi.
·         Sahih dari segi bentuk dan benar dari segi isi.
·         Tidak sahih dari segi bentuk dna tidak benar dari segi isi;
Menurut Cathcart & Klein (2011: 34), logika deduktif bernalar dari yang umum ke yang khusus. Contoh, “semua manusia akan mati, Sokrates adalah manusia. Jadi, Socrates akan mati”. Terkadang penalaran ini disalah artikan menjadi, “semua manusia akan mati, hamster anak saya akan mati, maka hamster adalah manusia”. Disini jelas bahwa ada kecacatan dalam pemberian proposisi ke dua.
Masih menurut Cathcart & Klein (2011: 43), ada istilah argument melingkar di dalam kesalahan logis. Argument melingkar adalah argument di mana bukti untuk suatu pernyataan memuat pernyataan itu sendiri. Contohnya, “3+4=5 karena 5=3+4”. Pernyatan tersebut tidak salah, namun tidak ada kesimpulan berarti yang dapat di peroleh di sana.
Salah satu dari sekian paradoks yang cukup dikenal dalam kesalahan logis, yaitu paradoks Zeno. Sebelumnya, paradoks itu sendiri adalah sepotong penalaran yang nampaknya wajar berdasarkan pada pengandaian-pengandaian yang nampaknya benar dan membawa ke sebuah kontradiksi atau kesimpulan lain yang jelas salah (Cathcart & Klein, 2011: 46-47). Salah satu dari paradoks zeno yang cukup dikenal adalah paradoks lomba lari antara Achilles dan kura-kura. Karena Achiles jelas bisa lari lebih cepat dari kura-kura maka, kura-kura diberi titik awal yang lebih jauh di depan Achiles. Yang harus Achiles lakukan adalah mencapai titik di mana kura-kura mulai, namun setiap kali Achiles mencoba mencapai titik itu, kura-kura selalu berada di depan, walau sangat dekat. Sehingga kura-kura cukup dengan tidak berhenti saja berjalan dalam pertandingan tersebut. Atau dalam sehari-hari, ketika seorang pedagang menawarkan dagangannya, dia mengatakan bahwa peralatan bersih-bersih yang dia jual akan mengurangi separuh pekerjaan si pemakainya. Karena dua kali setengah adalah satu, maka pembeli memutuskan untuk membeli dua buah peralatan tersebut dengan asumsi pekerjaannya akan dikurangi secara dua kali separuh alias satu.
Paradoks Russell yang dikarang oleh Bertrand Russell “Apakah kumpulan dari semua kumpulan yang bukan anggota dari diri mereka sendiri merupakan anggota dari dirinya sendiri?” atau untuk contoh lain dari paradoks Russell dalam menerjemahkan konsep filsafat ke dalam ceritanya “Ada sebuah kota di mana satu-satunya tukang cukur – seorang laki-laki, kebetula – mencukur jenggot semua laki-laki di kota itu, dan hanya laki-laki kota itu yang tidak mencukur jenggot mereka sendiri. Apakah tukang cukur itu mencukur jenggotnya sendiri? Kalau dia mencukur, dia tidak mencukur sendiri. Jika dia tidak mencukur, dia mencukur jenggotnya sendiri.”
Dalam hal ini, kesalahan-kesalahan logis bermain tak jauh dari ranah berpikir dan pengetahuan dasar ataupun intuisi. Kita akan menyadari ada kejanggalan dalam suatu kesimpulan, dan mencari kesalahan pada pernyataan yang menyebabkan kejanggalan tersebut. Bagaimana otak mencerna bahwa ada kejanggalan dalam kesimpulan yang diberikan merupakan bukti bahwa intuisi mengetuk logika untuk berpikir danmengkritisi sehingga kesalahan logis tersebut terpecahkan.
Dewey (Fisher, 2009: 2) mendefinisikan berpikit kritis sebagai pertimbangan yang aktif, persistent (terus-menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya.

5.      Siswa dalam Belajar
Lantas apa hubungannya antara intuisi, logika, dan pembelajaran siswa? Kembali pada filosofi kertas yang dilipat. Dalam menyikapi lipatan, partikel-partikel di dalam kertas memiliki batasan. Begitu pula dengan siswa. Dalam diri siswa, siswa telah memiliki pengetahuan yang merupakan bekal dari intuisinya. Dikelas siswa mendapatkan pengetahuan tersebut dalam bentuk formal. Pada tahap ini siswa akan mengalami koneksi antara intuisi dan ilmu formalnya. Logika memegang peran sebagai jembatan penghubung di sini. Hingga akhirnya siswa menerjemahkan pengetahuan formal dan intuisinya dalam definisi yang sama/selaras.
Pada kenyataannya tidak ada siswa yang sama antara satu sama lain. Tiap siswa berkarakter sendiri-sendiri. Tiap siswa memiliki kemampuannya sendiri-sendiri dengan batasan yang berbeda. Oleh karenanya, dalam proses belajar mengajar hampir selalu menunjukkan hasil yang berbeda. Ada siswa yang lebih unggul dari yang lain. Hal ini dikarenakan intuisi yang dimiliki oleh siswa berbeda, demikian pula dengan kemampuan logikanya. Sehingga dalam menyinkronkan antara intuisi dan pengetahuan formal dengan logika akan memakan waktu dan mengalami tingkat kesulitan yang berbeda.
Ketika siswa mencapai batas jenuhnya, maka intuisi dan logika tadi akan terhenti, demakin dipaksa maka semakin mumet yang dirasakan oleh siswa. Karenanya, ketika dalam proses belajar ada siswa yang terkadang tidak lagi fokus pada kegiatan pembelajaran. Hal penting yang harus diingat oleh seorang guru dalam mendidik, bahwa belajar bukanlah seperti menancapkan paku, dipaksa agar masuk, tapi seperti menggemburkan tanah, perlahan sedikit demi sedikit hingga menjadi subur. Siswa tidak begitu memerlukan materi pelajaran. Mereka telah memiliki itu secara informal. Sebaliknya, siswa butuh suasana belajar yang kondusif. Perlakuan yang memberi rasa nyaman dalam belajar. Dan yang tak kalah penting, kesempatan untuk menggali ilmu sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
Dalam pelajaran matematika yang dipandang sebagai hal abstrak, membuat siswa semakin terpojok akan intuisinya. Pembelajaran di dalam kelas biasanya merupakan pembelajaran dengan pengetahuan terpisah (logika) saja. Sedangkan sebenarnya ilmu pengetahuan adalah pengetahuan terhubung yang diuji dan dikritisi dengan pengetahuan terpisah.
Berdasarkan pengalaman,siswa sudah mempunyai mengembangkan proses pengambilan keputusan secara intuitive yang sering secara tidak sadar sering digunakan. Misalnya, siswa menyelesaikan soal penjumlahan 64 + 26, dalam hal ini secara tidak sadar siswa memposisikan bilangan menjadi 70 + 20. Contoh lain ketika membuktikan bahwa dua buah bilangan ganjil jika dijumlahkan akan menghasilkan bilangan genap. Secara pembuktian matematika dapat dibuktikan, dan secara intuitive hal ini juga dapat dibuktikan dan lebih sederhana. Pola-pola tersebut ada di kepala siswa karena informasi yang sering diterima siswa atau pun siswa sering mengalaminya sendiri. Bahkan ada dosen yang sudah bisa menebak murid yang akan mendapatkan nilai A dan mana yang tidak bisa mendapat nilai A walaupun ujian akhir belum dilakukan.
Seperti bagaimana theorema phytagoras, tentu bukan hal sulit untuk menghapal theorema tersebut, namun sampai kapan hapalan tersebut mampu tersimpan? Dengan memberi siswa kesempatan untuk memperoleh pengalaman sendiri dalam theorema tersebut, tentunya akan menanamkan konsep dan makna di dalam ingatan siswa. Ini akan menjadi ingatan jangka panjang yang sewaktu-waktu jika dibutuhkan dapat digali kembali.
Akan lebih mudah bagi siswa untuk mengingat kembali hal-hal yang menjadi intuisi baginya, dikarenakan proses intuisi lebih sederhana ketimbang pembelajaran untuk pengetahuan formal. Dengan logika, intuisi tersebut akan berkembang dan digeneralisasikan secara logis dan kritis untuk ruang dan waktu yang lainnya.
Pendekatan intuisi penting karena logika manusia sangat terbatas (bounded logicality), dalam praktek siswa sering dihadapkan dengan informasi yang tidak lengkap sehingga siswa tidak mempunyai semua alternatif yang relevant dengan permasalahan yang dihadapi, atau pun siswa tidak mengetahui konsekuensi dari setiap alternatif tersebut.


BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan terhubung yang disintesis dan dianalisis oleh pengetahuan terhubung. Intuisi dan logika merupakan aspek penting dalam pembentukan ilmu pengetahuan ini. Intuisi memberi pengetahuan secara sederhana kepada siswa dan logika memberi pandangan logis dan kritis terhadap pengetahuan yang muncul dari intuisi tersebut.
Dalam berpikir, hal-hal yang konkret akan lebih mudah diolah siswa dibandingkan dengan hal-hal yang abstrak. Intuisi memberi gambaran konkret, dengan logikanya, hal konkret ini diolah sedemikian hingga dalam proses yang logis serta kritis hingga akhirnya menjadi ilmu pengetahuan. Untuk memberlakukannya pada generalisasi berdasarkan ruang dan waktu, dibutuhkan kesepakatan yang membentuk ilmu pengetahuan tersebut menjadi abstrak.


DAFTAR PUSTAKA

Cathcart, T, & Klein, D. M. (2011). Plato ngafe bareng singa laut: Berfilsafat dengan anekdot. (Terjemahan P. Hardono Hadi). Yogyakarta: Kanisius. (Buku asli diterbitkan tahun 2007).
Elfindri, et al. (2010). Soft skills untuk pendidik. Jakarta: Baduose Media.
Fisher, A. (2009). Berpikir kritis: sebuah pengantar. (Terjemahan Benyamin Hadinata). Jakarta: Erlangga. (Buku asli diterbitkan tahun 2007).
Harry Hamersma. (2008). Pintu masuk ke dunia filsafat (2nd ed). Yogyakarta: Kanisius.
Ibrahimi, M.N. (20120. Logika lengkap. (Terjemahan Achmad Bahrur Rozi). Yogyakarta: IRCiSoD.
Piliang, Y. A. (2011). Dunia yang dilipat: Tamasya melampaui batas-batas kebudayaan (3rd ed). Bandung: Matahari.
Poespoprodjo. (2011). Logika ilmu menalar. Bandung: Pustaka Grafika.
Wowo Sunaryo Kuswana. (2011). Taksonomi berpikir. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar