Rabu, 07 September 2016

PROLOG AKHIR PEKAN “NILAI KEBENARAN”

Setiap benda memiliki dimensi, begitu pula dengan benar-salah. Benar-salah terdiri atas dimensi-dimensi. Benar-salah sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Kapan dan dimana benar-salah itu dipertanyakan memegang peran penting untuk memutuskan nilai kebenaran dan kesalahannya. Jawaban benar-salah yang dapat berlaku umum atau mutlak dapat ditemui pada kebenaran spiritual.
Ketika belajar di kelas, adalah benar jika 3 ekor burung ditembak 1 ekor oleh pemburu sisanya adalah 2 ekor burung. Dalam hal ini guru mencoba menanamkan pengetahuan bahwa 3 – 1 = 2. Namun jika pada kondisi nyata, 3 ekor burung ditembak 1 ekor oleh pemburu, sisanya bisa saja 0 bisa juga 1. Sisa 0 jika tembakan pemburu meleset sehingga ketiga burung yang kaget mendengar suara tembakan pemburu dapat kabur dari tempatnya semula. Sisa 1 jika tembakan pemburu tidak meleset sehingga hanya 2 ekor burung yang bisa terbang meninggalkan tempatnya semula karena kaget dengan suara tembakan si pemburu, sedangkan 1 ekor yang tertembak tetap tinggal tidak bisa terbang. Inilah  salah satu contoh nilai kebenaran yang dipengaruhi ruang dan waktu. Kasus yang sama namun dengan nilai kebenaran yang berbeda.
Nilai benar-salah yang dipengaruhi konteks ruang dan waktu bisa mengakibatkan timbulnya beda pendapat dalam berfilsafat. Perbedaan pendapat ini alami dan manusiawi, karena manusia memandang benar salah dalalm dimensinya sendiri. Namun dengan perbedaan pendapat ini pula dapat diperoleh kebenaran yang seolah-olah mutlak. Yaitu kebenaran yang dianggap diterima secara umum dengan kesepakatan bersama.
Filsafat tidaklah mampu menjawab ataupun menyelesaikan setiap permasalahan. Namun filsafat mampu mengasah dan melatih pola pikir untuk menyelesaikan permasalahan. Karena masalah dalam manusia ada begitu banyak. Terhitung dari yang ada dan mungkin ada. Permasalahan-permasalahan yang mungkin mampu diselesaikan oleh manusia itu sendiri hanyalah masalah-masalah yang telah ada untuk dirinya. Karena yang telah ada dapat dipikirkan dan dipertanyakan. Sedangkan yang belum ada belum bisa dipikirkan apa lagi dipertanyakan. Manusia hanya mampu bertanya untuk hal yang telah diketahui, manusia hanya mampu memikirkan hal yang telah diketahui.

Dengan demikian, mampukah seseorang menjelaskan sifat dan karakternya ketika dia sendiri tidak mengenal siapa dia? (terinspirasi oleh elegi menggapai kategori)


Correct me if I’m wrong

Tidak ada komentar:

Posting Komentar